Skip to main content

Kemangkatan Nabi Besar Muhammad SAW

Kemangkatan Nabi Besar Muhammad SAW


Nabi Besar Muhammad s.a.w. wafat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul-Awwal tahun 11 Hijrah, yang menurut Muhammad Ridha di dalam karyanya Muhammad, Rasul Allah cetakan 1934 halaman 487, bertepatan dengan tanggal 9 Juni 632 M.

Beliau menderita sakit semenjak pengujung bulan Shafar, bermula pada rumah Ummul-Mukminin Maimunah dan kemudian atas izin isteri-isteri beliau yang lainnya, lalu pindah ke rumah Ummul-Mukminin Aisyah binti Abibakar. Selama sakit itu tetap beliau mengikhtiarkan diri untuk melaksanakan imamat Shalat pada Masjid Nabawi. Pada saat terakhir sekali, yakni subuh hari Senin itu, baharulah imamat-Shalat itu diwakilkannya kepada Abu bakar Al Shiddiq.

Madinah Al Munawwarah berada dalam suasana berkabung dengan kemangkatan Nabi Besar Muhammad itu. Menjelang beliau jatuh sakit itu agama Islam telah tersebar di seluruh semenanjung Arabia. Seluruh kabilah-kabilah Arab telah menyatakan tunduk kepada kekuasaan pusat di Madinah Al Munawwarah. Begitupun kerajaan-kerajaan setempat yang berada pada belahan selatan Arabia.

Dengan kemangkatan beliau itu, karena beliau sendiri tidak menunjuk dan menetapkan penggantinya, timbullah permasalahan tentang pimpinan kekuasaan tertinggi (al-Imamat) sepeninggal Nabi Besar Muhammad. Al Bukhari (wafat 256 H/870 M) di dalam sebuah Al Hadits yang diriwayatkannya, yang dikatakan berasal dari Ibnu Abbas (wafat 68 H/688 M), dan Al Hadits itu dipungut oleh Dr. Ahmad Amin di dalam karyanya Fajr-al-Is-lami cetakan 1965 halaman 266—267, menceritakan peristiwa di bawah ini :

Ali ibn Abithalib (wafat 41 H/611 M), yang pada saat itu masih berusia 34 tahun, keluar dari sisi Nabi Besar Muhammad dan para Mukmin yang berkumpul di luar rumah Ummul-Muk-minin Aisyah itu lantas mengerubunginya dan bertanyakan perike-adaan Nabi.

Pada saat itulah Abbas ibn Abdil-Muthalib (wafat 33 H / 653 M) menjemba tangan keponakannya itu, membebaskannya dari kerumunan orang banyak itu, membawanya ke suatu tempat, dan berlangsung percakapan sebagai berikut :

’’Menurut tilikku bahwa Rasul Allah akan wafat oleh penyakitnya yang sekarang ini. Aku ini, di antara seluruh turunan Abdul-Muthalib, lebih tahu tentang maut. Marilah kita balik menjumpainya bersama-sama dan bertanyakan urusan (pimpinan) sepeninggalnya. Jikalau memang hak kita maka dapatlah kita mengetahuinya. Jikalau memang hak orang lain di luar kita maka kita mohonkan iJfipaya dia berwasiat tentang kita.”

Ali ibn Abithalib memberikan jawabannya: ”Di dalam hal itu, demi Allah, jikalau beliau menyatakan bukan hak kita maka niscaya orang banyak akan tidak memberikan kesempatan bagi kita pada masa selanjutnya. Aku sendiri, demi Allah, tidak ingin untuk menanyakannya.”

Al Hadits di atas itu memperlihatkan bahwa pimpinan kekuasaan tertinggi sepeninggal Nabi Besar Muhammad itu telah menjadi masalah dalam lingkungan keluarga terdekat dari Nabi Besar Muhammad sendiri.

Selisih pendapat dan pendirian mengenai masalah itu, sewaktu jenazah Nabi Besar Muhammad sendiri masih terbaring dalam rumah Ummul-Mukminin Aisyaih, sedemikian tajam sekali aptara kalangan Al Anshar dengan kalangan Al Muhajirin.

Al Anshar dan Al Mijhajirin 


Al Anshar itu bermakna: para Penolong. Al Muhajirin itu bermakna para Pengungsi. Dimaksudkan dengan kelompok Al-Muhajirin itu ialah para Mukmin dari sukubesar Kurais di kota Mekkah, yang pada tahun 1 Hijrah ataupun tahun 622 Masehi, meluputkan diri dari kota Mekkah ke kota Yasrib (Madinah Al Munawwarah), demi keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pengungsian itu berlangsung secara rahasia dan sembunyi-sembu-nyi, meninggalkan harta-benda dan kekayaan dan cuma membawa bungkusan-bungkusan kecil, disebabkan sudah tidak tahan menanggungkan azab-derita di kota Mekkah, yang dilakukan oleh pihak pembesar-pembesar Kurais. Mereka itu ditampung oleh dua sukubesar di Yasrib, yaitu sukubesar Khazraj dan sukubesar-Auss.

Bagian terbesar dari kedua suku di Yasrib itu telah memeluk agama Islam pada satu tahun menjelang Hijrah, sewaktu berlangsung Perjanjian Al Aqabah pada tahun 621 M di dalam wilayaj^ Mina, berlangsung dengan rahasia pada jauh tengah malam, bertempat di balik gunung batu yang menghadap Jumrah Al Aqabah di Mina. Dewasa itu tengah berlangsung musim Keramaian Tahunan Al Ukkaz yang terpandang suci oleh segenap kabilah-kabilah Arab di Arabia.

Kedua sukubesar itu memberikan jaminannya atas keselamatan Nabi Besar Muhammad beserta penampungan bagi para Mukmin dari Mekkah. Pada malam itu juga Nabi Besar Muhammad

menunjuk duabelas tokoh dari kedua sukubesar itu, yakni sembilan tokoh dari sukubesar Khazraj dan tiga tokoh dari sukubesar Auss, menempati kedudukan Al Nuqabak (Pembesar Pengawas)

bagi gerak langkah selanjutnya. Tokoh paling pertama dari dua-belas Pembesar Pengawas (Al Nuqabak) itu, yang ditamsilkan Nabi Besar Muhammad saat itu dengan Duabelas Hawariyun bagi Nabi Isa, adalah Saad ibn Ubadah (wafat 15 H/636 M) dari sukubesar Khazraj.

Para Mukmin dari kedua sukubesar itulah yang dipanggilkan dengan Al Anshar, yakni: Para Penolong. Di bawah lindungan dan pembelaan kedua sukubesar itulah berkembang agama Islam meliputi seluruh semenanjung Arabia.

Kedua sukubesar itu terdiri atas turunan-turunan keluarga yang dipanggilkan dengan Bani (turunan), seumpama bani Saidah, bani Auff, bani Harits, bani Najar, bani Mazan, bani Ajian, bani Adi, bani Wail, bani Saad, bani Amir, bani Yazid, dan seterusnya.1

Catatan Kaki
1. Perbedaan pengertian sukubesar (kabilah) dengan keluarga (bani) di dalam tata-kekeluargaan di Arabia itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Moyang A umpamanya, bilamana ditilik dari turunannya yang sudah meluas itu, dipanggilkan dengan kabilah A, yakni sukubesar A. Tetapi bilamana ditilik dari moyang-moyang yang lebih tinggi tingkatannya maka turunan A itu cuma disebutkan bani A, yakni keluarga A ataupun turunan A.

Contohnya seumpama Kushai yang bergelar Kurais itu, yang bilamana ditilik dari turunannya dipanggilkan sukubesar Kurais (kabilah Kurais), terdiri atas bani Abdi-Manaf, bani Abdi-Uzza, bani Abdi-Syam, bani Hasyim, bani Umayyah, bani Naufal, bani Muthalib, bani Abbas, bani Ash, bani Affan, dan seterusnya.

Tetapi bilamana ditilik dari tingkat-tingkat moyang yang lebih tinggi, seumpama Luwai atau Ghalib atau Fihri, maka turunan Kushai yang bergelar Kurais itu cuma disebut bani Kurais, yakni keluarga Kurais atau turunan Kurais, di samping bani Kaab, bani Murra, bani Adi, bani Taim, bani Kilab, dan seterusnya.
Recent Post

Comments

Popular Posts

Berziarah ke Makam Waliyullah

Adap-adap dalam Berziarah Ke Makam Waliyulloh Ketika mau masuk pintu gerbang makam wali, mulai dengan kaki kanan. Jangan mengeluarkan suara dan hidupkan hati dengan dzikir khofi. Berjalanlah dengan khusu' sampai ke depan pintu makam. Sebelum duduk, sampaikan salam dengan lafadz berikut : Assalamu'alaikum Yaa Waliyyallohi Tahiyyatan Minnii Ilaikum Warohmatullohi Wabarokatuhu. Artinya : "Salam bagimu wahai kekasih Allah, hormat dariku (sendiri)/dari kami (berombongan) dengan rahmat Allah dan berkah-Nya. Terus membaca surat Al-Faatihah dalam posisi masih berdiri. Selanjutnya duduk bersama-sama dan kontrollah dalam hati agar kondisi dalam keadaan sedang berdzikir khofi. Lalu bertawasullah dengan cara seperti di berikut ini : Bismillahir rahmanir rohimi, Ila hadl rotin nabiyyil musthofa muhammadin shollallohu 'alaihi wa sallama wa 'ala alihi wa ash habihi wa azwajihi wa dzurriyyatihi wa ahli baitihi wa liman dakhola fi baitihi ajma'ina, syay...

Kisah Tiga Bersaudara Mengharap Do'a Nabi Khidir

Kisah Tiga Bersaudara Mengharap Do'a Nabi Khidir Tersebutlah tiga orang dari negeri Syam atau Syria sekarang. Nama mereka sebut saja Ubay, Amar dan Hafid. Mereka bermaksud ke Mekah pada musim haji karena ingin bertemu dengan Nabi khidir AS. Nabi khidir AS konon bisa ditemui siapa saja, namun bagi orang awam di Mekah hanya dapat dicari waktu musim haji Akbar yang wukufnya jatuh pada hari Jum’at. “Berarti kita harus mencari di tengah ribuan manusia.”kata Ubay. “Itulah yang sulit,” keluh Amar. “Tapi harus kita coba, bukan ?” sahut Hafid. Keesokan harinya, berangkatlah mereka menuju tanah suci Mekah. Mereka pergi dengan bekal seadanya saja. Alangkah sulitnya perjalanan pada waktu itu. Telah dua minggu lamanya mereka berjalan kaki. Menempuh padang pasir yang luas dan gersang. Tapi belum juga sampai ke tempat yang dituju. Berbagai macam rintangan telah mereka hadapi. Bukan hanya sekedar kekurangan air dan makanan, tapi juga bahaya yang mengancam jiwanya. Kadangkala mereka harus menghada...

Sunan Kalijaga Berguru Kepada Nabi Khidir

Sunan Kalijaga Berguru Kepada Nabi Khidir Pengantar: Bagian ini memuat sebuah prosa yang dikutip dari Suluk · Linglung. Sebuah kitab klasik semacam kumpulan puisi yang berisi : dialog-pertemuan-dan wejangan Nabi Khidir kepada SunanKalijaga . Suluk ini aslinya berbahasa Jawa. menurut penelitiah : penulis isi dari suluk ini hampir sama dengan Serat Dewa Ruci yang  sebelumnya disinyalir oleh para sejarawan sebagai pertemuan Sunan Kalijaga dengan Nabi Khidir. Karena berupa suluk apalagi berisikan wejangan mahaguru para wali. maka orang awam tidak bisa hanya sekali baca langsung : mengerti. Ajaran-ajaran syari'at- ma'rifat-hakikat tingkat tinggi mewarnai suluk ini. PERTEMUAN SUNAN KALIJAGA DENGAN NABI KHDIR  Sete1ah menjalani latihan berat, berupa puasa dan riyadhah-riyadhah lainnya seperti dikubur hidup-hidup selama beberapa hari, Sunan Kalijaga menghadap gurunya yaitu Sunan Bonang. Berkata Sunan Bonang, "Muridku ketahuilah olehmu, jika kau ingin mendapatkan ...
Copyright © Tunjukilah Aku. All rights reserved.